Batubara Bahan Bakar Tua yang Masih Jadi Perebutan di Era Transisi Energi
batubara tetap menjadi komoditas panas—baik dalam arti harfiah maupun geopolitik. Bahan bakar fosil yang sudah digunakan sejak revolusi industri ini kembali menjadi sorotan, bukan hanya karena kontribusinya terhadap emisi karbon, tetapi juga karena perannya yang masih vital dalam menopang ketahanan energi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dari Energi Murah ke Isu Iklim Global
Batubara telah menjadi tulang punggung energi global selama lebih dari dua abad. Sebagai bahan bakar padat yang murah dan mudah diekstraksi, ia telah memberi daya pada pabrik, kereta api, dan pembangkit listrik sejak abad ke-18.
Namun dalam beberapa dekade terakhir, batbara berubah dari sumber daya strategis menjadi simbol polusi. Laporan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA) menyebut bahwa sektor pembangkit listrik berbasis menyumbang hampir 40% emisi karbon di dunia pada tahun 2024.
Tak heran, kini menjadi fokus tekanan dalam perjanjian iklim seperti Perjanjian Paris, dengan seruan internasional untuk menghapus penggunaannya secara bertahap.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Sebagai salah satu eksportir batubara termal terbesar di dunia, Indonesia menghadapi dilema besar. Di satu sisi, menjadi kontributor utama dalam pendapatan negara dan ekspor—terutama ke negara seperti India, Tiongkok, dan Vietnam. Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga telah menyatakan komitmen untuk mencapai net zero emissions pada 2060.
“adalah realitas ekonomi kami, tapi juga tantangan masa depan kami,” kata Rachmat Prasetyo, analis energi dari Institute for Energy Transition. Ia menambahkan bahwa penghapusan secara total tanpa transisi bertahap bisa mengguncang ekonomi dan menciptakan krisis energi domestik.
Teknologi Bersih: Jalan Tengah?
Sebagai respons atas tekanan global, muncul berbagai pendekatan baru seperti teknologi batubara bersih (clean coal technology) dan penangkapan karbon (carbon capture and storage/CCS). Beberapa pembangkit listrik di Kalimantan dan Sumatera mulai mengadopsi teknologi co-firing—mencampur dengan biomassa untuk menurunkan emisi.
Namun, para kritikus menilai bahwa teknologi ini masih mahal dan belum terbukti efisien dalam skala besar. Alih-alih memperpanjang usia batubara, mereka mendorong pemerintah dan investor untuk langsung beralih ke energi surya, angin, dan panas bumi.
Perang Pasar dan Perebutan Investasi
Sementara negara maju mulai memutus ketergantungan dari , negara-negara berkembang justru meningkatkan konsumsi. Di Afrika dan Asia Selatan, batubara tetap dianggap solusi tercepat untuk elektrifikasi desa dan kawasan industri.

Baca Juga : Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
Hal ini menimbulkan dinamika baru di pasar global. Perusahaan tambang batubara kini diburu investor dari Timur Tengah dan Asia, yang melihat peluang bisnis jangka menengah sebelum tren global benar-benar berpaling dari .
Akankah Batubara Hilang?
Meski transisi energi semakin nyaring digaungkan, banyak analis sepakat bahwa tidak akan menghilang dalam waktu dekat. “Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, batubara masih akan jadi bagian penting dari bauran energi di banyak negara,” ujar Fatima Leung, ekonom energi dari Hong Kong.
Yang jadi pertaruhan adalah: apakah negara-negara penghasil dan pengguna batubara bisa memanfaatkan waktu yang tersisa untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi dan sosial.
















